Categories

Lesson 6

Blog Archive

Follower

Statistik

Get Gifs at CodemySpace.com

PAWON DALAM BUDAYA JAWA


Pawon atau dapur tradisional dalam budaya Jawa merupakan representasi dari

tata kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, baik dari tata letaknya, fungsinya, dan
isinya. Pawon atau dapur tradisional juga menegaskan adanya deskriminasi seks
dalam pembagian kerja.
1 Djoko Surjo, Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan: Pola Kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya.
Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), 1985.
Pawon Dalam Budaya Jawa (Sumintarsih)
umumnya. Dapur, dalam bahasa Jawa
disebut pawon, mengandung dua pengertian:
pertama, bangunan rumah yang khusus
disediakan untuk kegiatan masak-memasak
dan; kedua, dapat diartikan tungku. Kata
pawon berasal dari kata dasar awu yang
berarti abu, mendapat awalan pa dan akhiran

an, yang berarti tempat. Dengan demikian,
pawon (pa+awu+an) yang berarti tempat
awu atau abu. Kenyataannya memanglah
demikian, dapur atau pawon memang tempat
abu (bekas pembakaran kayu/arang di
tungku), sehingga dianggap sebagai tempat
yang kotor. Dapur dalam kehidupan tradisional
orang Jawa, memang tempat abu, di sanasini
nampak bergelantungan sawang (jelaga)
yang hitam oleh asap api. Demikian juga
peralatan memasak berwarna kehitaman
karena jelaga. Kemungkinan disebabkan oleh
keadaan seperti itulah (penampilan yang seba
hitam dan kotor), maka di dalam susunan
rumah tradisional Jawa, dapur pada umumnya
terletak di bagian belakang.
Dalam budaya Jawa menurut Parsudi
Suparlan, konsep tentang sistem klasifikasi
mengenai alam semesta dan isinya terdapat
konsep dikotomi antara yang baik dan buruk,
bersih dan kotor2. Oleh karena itu dalam
sistem klasifikasi itu maka kakus (jamban
atau kamar kecil) maupun dapur letaknya
selalu di belakang. Oleh karena dapur
dianggap tempat kotor, maka dalam hal
membuat bangunan dapur tidak begitu
diperhatikan seperti halnya kalau membuat
rumah induk. Menurut Daldjoeni (1985) pada
umumnya bangunan dapur adalah bangunan
tambahan, dan biasanya bangunan dapur
dibuat sesudah bangunan rumah selesai.
Dapur atau pawon sebagai bangunan
tambahan, tidak dianggap sebagai bangunan
pokok atau penting, dan konstruksi bangunan
dapur sangat sederhana. Oleh karena itu
untuk membuat dapur tidak diperlukan
persyaratan yang rumit seperti akan membuat
rumah induk yang memerlukan perhitungan
waktu (primbon).
Dalam kehidupan tradisional Jawa,
makan tidaklah mendapatkan perhatian
penting. Dalam Kitab Wulangreh karya Paku
Buwana IV mengatakan ‘aja pijer mangan
nendra’ (jangan selalu makan dan tidur), dan
‘sudanen dhahar lan guling” (kurangilah
makan dan tidur) menduduki tempat utama
di dalam kepustakaan orang Jawa3.
Pandangan hidup orang Jawa menandaskan
bahwa kekuatan seseorang bukanlah
tergantung pada banyaknya makanan yang
masuk ke dalam tubuh, melainkan kepada
tekat dan batin. Orang tidak akan menjadi
lemah tubuhnya hanya karena sedikit makan,
bahkan sebaliknya, orang akan memperoleh
‘kekuatan’ karena sering melaksanakan
‘ngurang-ngurangi makan dan tidur
(tirakat atau asketis).
Karena terpengaruh oleh pandangan
hidup demikian itulah, maka dalam susunan
arsitektur rumah Jawa, dapur atau pawon
serta kegiatan memasak tidak mendapat
perhatian khusus. Namun demikian di dalam
pola pikir orang Jawa, makan diartikan
menerima berkah dari Dewi Sri yang dianggap
sebagai sumber rejeki4. Penghormatan
terhadap Dewi Sri oleh orang Jawa sematamata
bukan diwujudkan dalam makan dan
kegiatan memasak, tetapi penanganan secara
serius dalam pengolahan lahan pertanian sejak
awal sampai pascapanen.

0 komentar:

Posting Komentar