Categories

Lesson 6

Blog Archive

Follower

Statistik

Get Gifs at CodemySpace.com

SENI, BUDAYA INDONESIA, DAN PERKEMBANGAN IPTEK DALAM PANDANGAN ISLAM




Kata agama dan kebudayaan merupakan dua kata yang seringkali bertumpang tindih, sehingga mengaburkan pamahaman kita terhadap keduanya. Banyak pandangan yang menyatakan agama merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi tak sedikit pula yang menyatakan kebudayaan merupakan hasil dari agama. Hal ini seringkali membingungkan ketika kita harus meletakan agama (Islam) dalam konteks kehidupan kita sehari-hari.
Koentjaraningrat mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu(i) . Koentjaraningrat juga menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur universal yang terdapat dalam semua kebudayaan yaitu, sistem religi, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan peralatan(ii).
Pandangan di atas, menyatakan bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan. Dengan demikian, agama (menurut pendapat di atas) merupakan gagasan dan karya manusia. Bahkan lebih jauh Koentjaraningrat menyatakan bahwa unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat berubah dan agama merupakan unsur yang paling sukar untuk berubah.

Ketika Islam diterjemahkan sebagai agama (religi) berdasar pandangan di atas, maka Islam merupakan hasil dari keseluruhan gagasan dan karya manusia. Islam pun dapat pula berubah jika bersentuhan dengan peradaban lain dalam sejarah. Islam lahir dalam sebuah kebudayaan dan berkembang (berubah) dalam sejarah. Islam merupakan produk kebudayaan. Islam tidaklah datang dari langit, ia berproses dalam sejarah
Pandangan tersebut telah melahirkan pemahaman rancu terhadap Islam. Pembongkaran terhadap sejarah Al-Qur’an, justifikasi terhadap ide-ide sekulerisme, dan desakan untuk ‘berdamai’ menjadi Islam Inklusif, merupakan produk dari kerancuan pemahaman tersebut.
Agama yang disebut dalam pandangan Kontjaraningrat di atas tentu tidak dapat dinisbatkan kepada Islam. Pemaksaan untuk memasukan Islam dalam teori tersebut akan menghasilkan pemahaman yang rancu. Islam seharusnya diberi kesempatan untuk menafsirkan dirnya sendiri. Islam pun harus berikan keleluasaan untuk mendevinisikan kebudayaan.

Islam dan Kebudayaan
Buya Hamka menyatakan bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa itu sedia telah ada dalam jiwa manusia sendiri(iii). Hal itulah yang universal dalam diri manusia, fitrah manusia. Manusia melihat alam yang megah dan berbagai fenomena luar biasa, kemudian mencoba untuk menjelaskannya.
Dari fitrah itulah menusia kemudian mencari tahu “siapa yang Maha Kuasa?”. Pencarian manusia tersebut telah melahirkan banyak paham dan pandangan yang kemudian dipercayai sebagai agama. Agama-agama semacam ini bukanlah agama yang diturunkan Allah Swt kepada para nabinya, tetapi agama yang berasal dari akal budi dan gagasan manusia. Agama semacam inilah yang tepat untuk dinisbatkan kepada teori Kuntjaraningrat di atas.
Hanya Islam yang sesuai dengan fitrah manusia. Buya Hamka menyatakan : Permulaan perjalanan dinamakan fitrah. Akhir dari perjalanan dinamai Islam(iv). Yang dimaksud dengan kalimat tersebut yaitu, bahwa fitrah manusia untuk mencari Yang Maha Kuasa, akan tetapi manusia akhirnya menyerah karena akal tidak cukup untuk memahaminya. Islam memberikan penjelasan apa yang tidak bisa dijelaskan oleh akal. Itulah kenapa agama ini dinamakan Islam.
maka insaflah manusia akan kelemahan dirinja, dan insaf akan ke-Maha Besarnja Jang Ada itu. Maka menjerahlah dia dengan segala rela hati. Penjerahan jang demikian dalam bahasa Arab dinamakan Islam(v).
Lebih jauh Syed Naquib Al-Attas menyatakan:
Maka dengan pengertian faham agama yang bernisbah kepada kebudayaan seperti yang biasa difahamkan dalam pengalaman Kebudayaan Barat itu tiada pula dapat dikenakan kepada agama Islam –berbeza dari yang lain yang sesungguhnya merupakan keagamaan belaka— bukan hasil renungan atau teori, bukan hasil agung dayacipta insan sebagaimana kebudayaan itu hasil usaha dan dayaciptanya dalam tindakan menyesuaikan dirinya menghadapi keadaan alam sekeliling. Islam adalah agama dalam erti kata yang sebenarnya, iaitu agama yang ditanzilkan oleh Allah Yang Mahasuci lagi Mahamurni dengan perantara wahyu menerusi PesuruhNya yang Terpilih, dan dasar-dasar akidahnya dinyatakan dalam Kitab Suci Al-Qur’anu’l-Karim, dan amalan-amalannya dicarakan dalam Sunnah NabiNya yang Agung itu. Dipandang sebagai suatu peristiwa sejarah pun maka Islam itulah yang mengakibatkan timbulnya kebudayaan Islam, dan bukan sebaliknya: bukanlah sesuatu kebudayaan itu yang mengakibatkan timbulnya agama Islam(vi).
Sementara Prof. Dr. Amer Al-Roubai menyatakan:
Di Barat, agama adalah bagian dari kebudayaan, sedangkan di Islam, budaya didefinisikan oleh agama(vii).
Islam bukanlah hasil dari produk budaya (seperti yang dituduhkan oleh Nasr Hamd Abu Zayd). Islam justru membangun sebuah budaya, sebuah peradaban. Peradaban yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Nabi tersebut dinamakan peradaban Islam.
Peradaban Islam memiliki pandangan hidup (worldview) yang berbeda dengan peradaban lain. Cara pandang hidup yang berbeda inilah yang menghasilkan konsep-konsep yang berbeda pula. Oleh karena itu, merupakan hak Islam untuk menggunakan pandangan hidupnya (dalam bahasa Al-Attas: ar-Ruyatul al Islam li al-wujud) untuk memahami setiap keberadaan, termasuk kebudayaan.
Dengan pemahaman di atas, kita dapat memulai untuk meletakan Islam dalam kehidupan keseharian kita. Kita pun dapat membangun kebudayaan Islam dengan landasan konsep yang berasal dari Islam pula.
Sebagai sebuah kenyatan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat[1].
Interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi dengan, pertama agama memperngaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan. Kedua, agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan dan hajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitemnilai dan simbol agama[2].
Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar. Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).
Baik agama maupun kebudayaan, sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam mensikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anak yang baru lahir, bila agama memberikan wawasan untuk melaksanakan aqiqah untuk penebusan (rahinah) anak tersebut, sementara kebudayaan yang dikemas dalam marhabaan dan bacaan barjanji memberikan wawasan dan cara pandang lain, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu mendo”akan kesalehan anak yang baru lahir agar sesuai dengan harapan ketuhanan dan kemanusiaan. Demikian juga dalam upacara tahlilan, baik agama maupun budaya lokal dalam tahlilan sama-sama saling memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi orang yang meninggal [3].
Oleh karena itu, biasanya terjadi dialektika antara agama dan kebudayaan tersebut. Agama memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama. Namum terkadang dialektika antara agama dan seni tradisi atau budaya lokal ini berubah menjadi ketegangan. Karena seni tradisi, budaya lokal, atau adat istiadat sering dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran Ilahiyat yang bersifat absolut.

Epistemologi Pribumisasi Islam

Gagasan pribumisasi Islam, secara geneologis dilontarkan pertama kali oleh Abdurrahman Wahid pada tahun 1980-an. Dalam ‘Pribumisasi Islam’ tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Sehingga, tidak ada lagi pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakat muslim di Timur Tengah. Bukankah Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah berarti tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri? Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Inti ‘Pribumisasi Islam’ adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan[4].
Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya.
Pada konteks selanjutnya, akan tercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang sesuai dengan konteks lokalnya, dalam wujud ‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari ‘Islam Otentik’ atau ‘Islam Murni’ yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas Islam di seluruh penjuru dunia. ‘Islam Pribumi’ justru memberi keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut[5].
Sebagai contoh dapat dilihat dari praktek ritual dalam budaya populer di Indonesia, sebagaimana digambarkan oleh Kuntowijoyo, , menunjukkan perkawinan antara Islam dan budaya lokal yang cukup erat. Upacara Pangiwahan di Jawa Barat, sebagai salah satunya, dimaksudkan agar manusia dapat menjadi ‘wiwoho’, yang mulia. Sehingga berangkan dari pemahaman ini, masyarakat harus memuliakan kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagainya. Semua ritual itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kehidupan manusia itu bersifat mulia. Konsep mengenai kemuliaan hidup manusia ini jelas-jelas diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia sebagai makhluq yang mulia[6].
‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari Islam otentik mengandaikan tiga hal. Pertama, ‘Islam Pribumi’ memiliki sifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk menginterpretasikan ajaran. Dengan demikian, Islam akan mengalami perubahan dan dinamika dalam merespons perubahan zaman. Kedua, ‘Islam Pribumi’ bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman terhadap penyimpangan terhadap ajaran dasar agama (Islam), tetapi dilihat sebagai pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga, ‘Islam Pribumi’ memiliki karakter membebaskan. Dalam pengertian, Islam menjadi ajaran yang dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnik. Dengan demikian, Islam tidak kaku dan rigid dalam menghadapi realitas sosial masyarakat yang selalu berubah.
Dalam konteks inilah, ‘Islam Pribumi’ ingin membebaskan puritanisme, otentifikasi, dan segala bentuk pemurnian Islam sekaligus juga menjaga kearifan lokal tanpa menghilangkan identitas normatif Islam. Karena itulah, ‘Islam Pribumi’ lebih berideologi kultural yang tersebar (spread cultural ideology)[7], yang mempertimbangkan perbedaan lokalitas ketimbang ideologi kultural yang memusat, yang hanya mengakui ajaran agama tanpa interpretasi. Sehingga dapat tersebar di berbagai wilayah tanpa merusak kultur lokal masyarakat setempat. Dengan demikian, tidak akan ada lagi praktik-praktik radikalisme yang ditopang oleh paham-paham keagamaan ekstrem, yang selama ini menjadi ancaman bagi terciptanya perdamaian.
Otentisitas Islam Pribumi
Cuma permasalahanya apakah Islam pribumi dapat dipandang ‘absah’ dalam perspektif doktrin Islam. Mengabsahan ini penting menyangkut sosialisasi dan internalisasi Islam pribumi sebagai wacana pembebasan umat di kalangan umat Islam sendiri. Kelompok puritan Islam telah menuduh Islam pribumi sebagai sebagai pengejawantahan dari praktek bid’ah yang telah menyimpang dari ajaran Islam. Lebih lanjut kelompok ini berkeyakinan ahli bid’ah adalah sesat (dlalalah). Dalam sejarah Islam Jawa telah direkam bagaimana upaya-upaya penguasa Islam waktu itu dalam memberangus praktek sufime yang mereka tuduh telah menyimpang dari ortodoksi Islam.
Ambillah contoh misalnya tentang konfik antara Syekh Siti Jenar dengan seorang raja dari Demak. Seperti diketahui, Syekh Siti Jenar dikenal sebagai seorang Wali yang mempunyai kecenderungan mistis yang sangat kuat. Jalan tarekat yang dia tempuh sering menimbulkan ketegangan antara ketentuan-ketentuan syari’at yang baku (doktris resmi Islam). Seringkali paham mistiknya yang sangat kuat itu menyebabkan ia meremehkan hukum-hukum yang sudah diadobsi dari kerajaan. Oleh karena itulah penguasa kerajaan Islam Jawa di Demak itu kemudian berusaha keras untuk memadamkan pengaruh mistik, sufi dan tarekat, karena paham-paham seperti itu menyebabkan orang menjadi individualistik dan meremehkan kekuasaan keraton.
Demikianlah, akhirnya Demak menghukum Syekh Siti Jenar dengan cara membakar hidup-hidup (meskipun pada akhirnya konon dia tidak mati) yang melambangkan disirnakannya sufisme dan mistis Islam untuk digantikan dengan syari’at demi ketertiban negara. Walaupun Kuntowijoyo[8] menyimpulkan tragedi tersebut bukan katrena faktor keyakinan beragama antara keyakinan resmi yang diwakili oleh Raja Demak dengan keyakinan menyimpang yang dicontohkan oleh Syekh Siti Jenar, melainkan semata-mata karena faktor kekuasaan. Teori yang dapat ditunjukkan adalah bahwa jika ajaran Islam yang diusung ke dalam tradisi kerajaan menguntungkan atas langgengnya status quo kekuasaan, maka ajaran itu diadobsi bahkan dikembangkan, tetapi jika ajaran itu membahayakan kekuasaan; deligitimasisasi, berpotensi memimbulkan kegoncangan sosial, maka ajaran tersebut diberangus secepatnya.
Klaim-klaim yang dilontarkan kelompok Islam Puritan perlu mendapat counter discourse untuk sebuah agenda dialog terbuka yang membuka peluang adanya new paradigm masing-masing yang berdialog. Kebanyakan kelompok Islam puritan mempunyai pemahaman bahwa al-Qur’an sebagai sumber ortodoksi adalah kitab yang komprehensif, sehingga masalah apapun yang ada disekitar manusia sampai kapanpun, akan ada jawaban-jawaban spesifik dalam al-Qur’an. Inilah yang dalam pandangan Mark R. Woodward[9] tidak akan mungkin terjadi. Sebab apa ? Karena itu bukan menjadi watak al-Qur’an, sebagaimana kitab suci yang lainnya, untuk berbicara secara komprehensif mengenai kosmologi, soteriologi, etika, ritual, dan aspek-aspek keagamaan lainnya.
Sistem-sistem doktrinal, begitu kata Mark R. Woodward selanjutnya, yang komprehensif hanya bisa muncul melalui penafsiran. Teologi dan hukum Islam didasarkan pada penafsiran al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Formulasi doktrin itu telah dimulai tidak lama sesudah Nabi Wafat dan berpuncak dalam bentuk hadis dan syari’at semikanonik [10].
Hadis dan syari’at termasuk aspek doktrin yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Fazlur Rahman,[11] mendefinisikan hadis sebagai “:suatu narasi, biasanya sangat pendek, yang pokok isinya memberikan informasi mengenai apa yang dikatakan, dilakukan atau apa yang disetujui dan tidak disetujui dari para sahabatnya …”. Bukti kuat menunukkan bahwa hadis berisi banyak informasi mengenai praktek-sosial keagamaan komunitas Muslim awal, berapa diantaranya dapat dilacak langsung ke Nabi[12]. Selain itu semua itu merupakan hasil proses simbolisasi yang lewatnya prinsip-prinsip al-Qur’an digunakan untuk membangkitkan atau menafsirkan ulang bentuk-bentuk praktek kepercayan, sosial dan keagamaan. Upaya-upaya merujuk pernyataan-pernyataan dan praktek-praktek ini ke Nabi SAW akan meligitimasi inpvasi dan interpretasi keagamaan.
Selain itu, hadis dikembangkan untuk mendukung tradisi politik dan doktrin yang luas. Penting kaitannya dengan hal ini, Muslim syi’ah mempunyai bentuk hadis yang berbeda dengan mayoritas Sunni. Hal ini membawa kepada pengamatan juniboll (1953) bahwa salah satu dari tujuan utama formulasi hadis adalah untuk mengabsahkan kedudukan-kedudukan teologis dengan mengaitkannya dengan Nabi. Ulama tampak mengakui, proses “pengumpulan” tidak bisa dilanjutkan untuk jangka waktu tak terbatas tanpa terjerembab ke dalam pemalsuan yang tidak terbatas pula. Oleh karena itu, sepanjang zaman Islam era ketiga, dikembangkan ilmu transmisi hadis dan temuan-temuan yang kan didokumentasikan dengan baik ini, dirancang dalam enam kumpulan semikanotik (kutub as-sittah) yang, bersama al-Qur’an, merupakan inti Islam “ortodok”.[13]
Kemunculan literatur hadis memberikan contoh jernih peran penafsiran dan simbolisasi dalam evolusi tradisi-tradisi kitabiah. Proses ini merupakan perangkat yang melaluinya prinsip-prinsip dasar al-Qur’an digunakan untuk menyusun dan menafsirkan tradisi yang hidup, yang pada gilirannya meberikan basis untuk menyusun dan menafsirkan tradisi yang hidup, yang pada gilirannya memberikan basis untuk skripturalisasi hadis (melalui asosiasi simboliknya dengan Nabi Muhammad). Hadis menawarkan model untuk ritual rakyat (popular ritual) dan agama pemujaan (devotional religion), dan ini melengkapi suatu lingkaran penafsiran.
Sama halnya dengan peran penafsiran dalam pertumbuhan syari’at, Goldziher[14] melihat bahwa perkembangan hukum didorong sebagian besar oleh penaklukan Arab tas kawasan Byzantium dan Persia, dan syari’at menggunakan yurisprudensi Romawi. Hukum Islam didasarkan pada empat prinsip fundamental : (1) al-Qur’an, (2) al-Hadis, (3) Konsensus Ulama (ijma’), (4), analogi (qiyas) (Rahman, 1979 : 68). Ia berupaya untuk memperluas prinsip-prinsip fundamental dari al-Qur’an atau hadis, dengan memunculkan petunjuk lengkap untuk semua segi tingkah laku keagamaan dan sosial.
Karakter syari’at bersama dengan penggunaan konsensus dan analogi sebagai prinsip-prinsip penafsiran memunculkan perdebatan tentang pokok persoalan yang jauh terlepas dari tema sentral al-Qur’an dan tampaknya akan melanggar sejumlah hadis, tema yang membebaskan “dari beban yang menyusahkan”.[15] Diantara perdebatan-perdebatan ini – dan satunnya yang akan diperhitungkan dalam ulasan-ulasan tentang pribumisasi Islam – adalah tentang kultus roh Jawa (javanese spirit cult) dan teori kerajawian, yakni yang berhubungan dengan keabsahan perkawinan antara manusia dan roh. Goldziher berpendapat bahwa bentuk asus hukum ini merupakan salah satu dari faktor utama yang mendorong berkembangnya sufisme.
Penjelasan panjang tersebut untuk menjawab klaim kelompok puritan bahwa kelompok mereka yang paling otentik dalam mempraktekkan ajaran Islam sehari-hari. Otentisitas memang menjadi salah satu kriteria kebenaran sebuah pemahaman ajaran agama. Tetapi seringkali diabaikan di sini proses-proses sosial, politik dan budaya yang mempengaruhi pemikiran dan perumusan (sistem) ajaran tersebut, suatu dimensi historis dari ajaran agama. Kaum puritan mengabaikan dimensi tafsir dalam ajaran agama, seolah-olah agama adalah paket dari langit yang superlengkap dengan juklak dan juknis, padahal realitas yang telah ditunjukkan tidaklah demikian. Ajaran agama sarat dengan penafsiran, dan penafsiran terkait dengan ruang dan waktu, di sana ada dialektika dengan struktur budaya di mana tafsir itu lahir, sehingga di sini Islam Pribumi menemukan keabsahannya.

 

Dakwah dan Tradisi Lokal

Sejak kehadiran Islam di Indonesia, para ulama telah mencoba mengadobsi kebudayaan lokal secara selektif, sistem sosial, kesenian dan pemerintahan yang pas tidak diubah, termasuk adat istiadat, banyak yang dikembangkan dalam perspektif Islam. Hal itu yang memungkinkan budaya Indonesia tetap beragama, walaupun Islam telah menyatukan wilayah itu secara agama.
Kalangan ulama Indonesia memang telah berhasil mengintegrasikan antara keIslaman dan keindonesiaan, sehingga apa yang ada di daerah ini telah dianggap sesuai dengan nilai Islam, karena Islam menyangkuit nilai-nilai dan norma, bukan selera atau idiologi apalagi adat. Karena itu, jika nilai Islam dianggap sesuai dengan adat setempat, tidak perlu diubah sesuai dengan selera, adat, atau idiologi Arab, sebab jika itu dilakukan akan menimbulkan kegoncangan budaya, sementara mengisi nilai Islam ke dalam struktur budaya yang ada jauh lebih efektif ketimbang mengganti kebudayaan itu sendiri.
Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.[16]
Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara begitu elastis. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai Islam).
Dapat kita lihat, masjid-masjid pertama yang dibangun di sini bentuknya menyerupai arsitektur lokal-warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap warna/corak budaya lokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk “membawa stupa”, atau bangunan gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah (Arab), tempat lahirnya agama Islam.
Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam dulu, memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat yang heterogen setting nilai budayanya. Mungkin kita masih ingat para wali –yang di Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah memasukkan Islam karena agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan” yang dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.
Sunan Kalijaga misalnya, ia banyak menciptakan kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir, tandure wis semilir. Perimbangannya jelas menyangkut keefektifan memasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang gerak dakwah yang lebih memadai. Meminjam pendapat Mohammad Sobary (1994: 32) dakwah Islam di Jawa masa lalu memang lebih banyak ditekankan pada aspek esoteriknya, karena orang Jawa punya kecenderungan memasukkan hal-hal ke dalam hati. Apa-apa urusan hati. Dan banyak hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam di masa lalu cenderung sufistik sifatnya.[17]
Secara lebih luas, dialektika agama dan budaya lokal atau seni tradisi tersebut dapat dilihat dalam perspektif sejarah. Agama-agama besar dunia: Kristen, Hindu, termasuk Islam, karena dalam penyebarannya selalu berhadapan dengan keragaman budaya lokal setempat, strategi dakwah yang digunakannya seringkali dengan mengakomodasi budaya lokal tersebut dan kemudian memberikan spirit keagamaannya. Salah satu contoh yang baik adalah tradisi kentrungan atau wayang yang telah diisi dengan ajaran kristen tentang cerita Yesus Kristus di Kandhang Betlehem dan diisi oleh Islam tentang ajaran kalimusodo (kalimat syahadat) atau ajaran keadilan dan yang lainnya.
Dialektika antara agama dan budaya lokal juga terjadi seperti dalam penyelenggaraan sekaten di Yogyakarta (atau di Cirebon), dan hari raya atau lebaran ketupat di Jawa Timur yang diselenggarakan satu minggu sesudah Idulfitri. Dalam perspektif sejarah Islam Indonesia, upacara Sekaten merupakan kreativitas dan kearifan para wali untuk menyebarkan ajaran Islam. Upacara sekaten ini merupakan upacara penyelenggaraan maulid Nabi yang ditransformasikan dalam upacara sekaten. Substansinya adalah untuk memperkenalkan ajaran tauhid (sekaten ubahan dari syahadatain) sekaligus melestarikan atau tanpa mengorbankan budaya Jawa
Wujud dakwah dalam Islam yang demikian tentunya tidak lepas dari latar belakang kebudayaan itu sendiri. Untuk mengetahui latar belakang budaya, kita memerlukan sebuah teori budaya. Menurut Kuntowijoyo dalam magnum opusnya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi,[18] sebuah teori budaya akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut: Pertama, apa struktur dari budaya. Kedua, atas dasar apa struktur itu dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu mengalami perubahan. Keempat, bagaimana menerangkan variasi dalam budaya.
Persoalan pertama dan kedua, akan memberikan penjelasan mengenai hubungan antar simbol dan mendasarinya. Paradigma positivisme –pandangan Marx di antaranya– melihat hubungan keduanya sebagai hubungan atas bawah yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi, yakni modus produksi.
Berbeda dengan pandangan Weber yang dalam metodologinya menggunakan verstehen atau menyatu rasa. Dari sini dapat dipahami makna subyektif dari perbuatan-perbuatan berdasarkan sudut pandang pelakunya. Realitas ialah realitas untuk pelakunya, bukan pengamat. Hubungan kausal –fungsional dalam ilmu empiris-positif– digantikan hubungan makna dalam memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui usaha merumuskan hukum-hukum (nomotetik), tapi hanya akan melukiskan gejala (ideografik). [19]
Dengan demikian, mengikuti premis Weber di atas, dalam simbol-simbol budaya yang seharusnya dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dari sini lalu dapat dikatakan bahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas asal makna masih sama.
Demikian pula dengan ritus-ritus semacam ruwahan, nyadran, sekaten maupun tahlilan. Semua pada level penampakannya (appearence) adalah simbo-simbol pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna ’subyektif’ (kata ini mesti diartikan sejauhmana tingkat religiusitas pemeluknya) dari pelakunya. Tindakan seperti ini ada yang menyebut sebagai syahadat yang tidak diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi transeden dan imanen.
Dengan kata lain high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika ingin ditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition yang niscaya merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi tahlilan misalnya, high tradition yang diusung adalah taqarrub ilallah, dan itu diapresiasikan dalam sebuah bentuk dzikir kolektif yang dalam tahlilan kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu muncul simbol kebudayan bernama tahlilan yang didalamnya melekat nilai ajaran Islam. Dan Kuntowijiyo merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyak dalam hal demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyak menikmati agamanya.
Adalah sebuah kenyataan sejarah yang tak bisa dipungkiri bahwa masuknya Islam ke Indonesia (baca: Nusantara) lebih banyak mengandalkan jalur-jalur kultural ketimbang aksi kekerasan. Mulai dari era dakwah para saudagar Arab dan Gujarat, bahkan komon termasuk para pedagang Cina, di wilayah-wilayah pesisir Nusantara pada abad ke-7. Banyak artefak dan dokumen sejarah membuktikan bahwa pada masa itu secara pelan Islam merasuki wilayah nusantara ini. Bahkan diasumsikan pada masa itu kontak perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Nusantara khususnya Airlangga dan Singosari dengan Tiongkok telah terjalin dengan baik. Meskipun secara pelan, justru para penyebar Islam itu tidak memiliki tendensi secara praktis sebagai salah satu ekspansi politik.  Tidak ada sebuah data sejarah yang menjelaskan terjadinya perebutan suatu wilayah oleh penyebar Islam melalui peperangan seperti yang terjadi di Timur Tengah.
 Setelah para penyebar itu menjalin hubungan yang baik dengan tradisi kultural masyarakat saat itu dengan memperlihatkan kesantunan ajaran serta perilaku-perlaku yang meneduhkan, Islam meluas hingga ke pusat-pusat kekuasaan kerajaan. Ini terbukti, bagaimana Sunan Ampel sangat dekat dengan raja Brawijaya di era Kerajaan Majapahit. Kiprah Sunan Ampel telah mengantarkan Walisongo memiliki peranan penting perkembangan Islam selanjutnya. Islam telah merambah ke pelbagai pelosok tanah Jawa bahkan menyebar ke seluruh Nusantara. Keberhasilan para Walisongo tidak terlepas dari strategi dakwahnya. Islam nyaris selalu diperkenalkan kepada masyarakat melalui ruang-ruang dialog, forum pengajian, pagelaran seni dan sastra, serta aktivitas-aktivitas budaya lainnya, yang sepi dari unsur paksaan dan nuansa konfrontasi, apalagi sampai menumpahkan darah.
Bahkan sewaktu komunitas muslim terbentuk di wilayah Demak, tepatnya di daerah Glagahwangi, tak ada bukti sejarah yang menceritakan penguasaan wilayah itu melalui peperangan. Hingga komunitas itu mendapatkan momentumnya menjadi sebuah kerajaan Baru dengan hancurnya kerajaan Majapahit. Seketika itu juga Walisongo mengukuhkan Raden Fatah, putra Raja Brawijaya V menjadi rajanya. Sejarah barangkali memetakan bahwa kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa, tapi meragukan bagi kita bahwa kerajaan itu benar-benar menjadi kekhalifahan sepertihalnya imperium yang ada di pusat Islam, Timur Tengah. Benar bahwa Islam saat itu telah menjadi kekuatan politik yang cukup penting, tapi bukan berarti para Walisongo bermaksud mendirikan Kerajaan Islam yang kemudian melakukan ekspansi pengislaman wilayah-wilayah lainnya. Benar, pemegang tampuk kekuasaan dan para menterinya muslim tapi tidak ditemukan data sejarah jikalau mereka menerapkan sistem kekhalifahan atau menerapkan syari?at Islam secara formal. Ada pertanyaan yang menarik untuk direnungkan, kenapa bukan anggota walisongo yang menjadi rajanya, tapi Raden Fatah yang masih memiliki kesinambungan dengan raja-raja Nusantara, khususnya Majapahit?
Ini artinya Islam bukan menjadi ideologi politik yang harus diperjuangkan secara politis, tapi sebagai sumber nilai dan norma-norma untuk menjalankan perilaku-perilaku para pemegang kekuasaan. Kita bisa membaca bagaimana bentuk kerajaan dikonstruksi dan bagaimana telah terjadi proses saling mengambil, belajar serta dialog antara nilai Islam dan manifestasi budayanya. Para walisongo sangat hati-hati menancapkan bentuk-bentuk keberagamaan bagi rakyat dengan menyelaraskan tingkap pengetahuan dan budaya saat itu. Munculnya kasus Siti Jenar sebaiknya dipahami dalam konteks penyelarasan yang memang saat itu sangat penting bagi komunitas muslim yang masih baru terbentuk. Proses penyelarasan bukan berarti ?penyeragaman? namun penekanannya lebih pada kesesuaian dan ketepatan mengajarkan keislaman bagi masyarakat yang berbeda-beda tingkat pengetahuannya.
Strategi yang kemudian oleh para sejarawan lebih dikenal dengan strategi akomodatif ini merupakan kearifan para penyebar Islam menyikapi proses-proses inkulturasi dan akulturasi. Hal yang sama juga terjadi di Samudera Pasai, Sumatera  dengan konteks historis dan budayanya. Namun, di Sumatera memiliki warna yang lebih integratif antara Islam dan adat setempat. Proses akomodatif dan integratif ini merupakan upaya-upaya dialogis dan toleransi yang dikedepankan oleh penyebar Islam. Peperangan-peperangan yang terjadi lebih disebabkan oleh perebutan kekuasaan, bukan oleh agama. Sekali lagi, tidak ada dokumen sejarah yang menjelaskan bahwa terjadi ekspansi secara paksa dengan kekerasan dan peperangan yang dilakukan oleh penyebar Islam awal.
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep 'Meru' dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat.
Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas terlihat dalam bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh arsitektur khas mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian.
Pada periode berikutnya, ketika imperalisme Barat mulai bercokol di bumi Nusantara ini, masyarakat muslim menjadi tantangan strategis bagi mereka. Kolonialisme yang telah melakukan praktik-praktik penindasan, kekerasan dan penguasaan secara paksa mengantarkan masyarakat muslim melakukan perlawanan. Namun, dalam  konteks penyebaran Islam tetap melakukan proses-proses inkulturasi dengan budaya setempat, dengan keberagamaan lainnya yang ada di bumi Nusantara. Jadi, secara kultural tidak menjadi problem bagi perkembangan Islam.
Persoalan muncul justru dari keberbedaan secara politis menyikapi para kolonialis. Seperti yang ditunjukkan ketika penguasa suatu kerajaan di Nusantara berpihak kepada kepentingan kolonialis, kemudian membawa masyarakat Islam terpecah-pecah. Keterpecahan yang semula secara politis kemudian mengarah ke arah perbedaan keberagamaannya. Berdirinya organisasi keberagamaan Muhammadiyah dan NU dapat dibaca dalam konteks ini. Dampak kolonialis yang telah memecah-mecah komunitas Islam itu terlihat jelas ketika terjadi perdebatan sengit penyusunan dasar negara Indonesia tentang penerapan syari?at Islam. Saat itu terlihat dua arus besar, arus puritanisasi (pemurnian) Islam dan arus moderasi Islam. Namun, demi kemerdekaan Indonesia mereka harus menyatukan visi dan arah perjuangan.
Tidak bisa dipungkiri organisasi apapun yang lahir sebelum 1945 yang didirikan oleh masyarakat pribumi termasuk yang di luar negeri selalu mengedepankan kemerdekaan Indonesia sebagai avant garde cita-cita yang ingin diraih. Demikian juga NU, dengan caranya sendiri, membangun basis gerakan dan argumentasi tentang kemerdekaan Indonesia. Akhirnya, dasar negara tidak perlu mencantumkan berlakunya syari?at Islam.
Meskipun demikian bukan berarti arus puritanisme Islam padam. Sejarah mencatat beberapa peristiwa pemberontakan DI (Darul Islam) di berbagai daerah di Indonesia. Belum padamnya arus puritanis Islam itu mengemuka kembali ketika arus modernisasi masuk ke Indonesia. Respon dan penyikapan setiap komunitas Islam terhadap modernisasi pada akhirnya mewarnai proses perkembangan Islam di Indonesia. Kita bisa menyimak bagaimana pada tahun 70 dan 80-an kebijakan Pancasila sebagai asas tunggal menjadi perdebatan.
Hendak dikatakan di sini bahwa semua sikap di atas menunjukkan bahwa pandangan Islam terhadap negara yang ketika itu sebagai fenomen modernitas paling jelas, diletakkannya bukan sebagai alternatif dari bentuk Islam melainkan sebagai instrumen belaka. Sebaliknya, Islam juga bukan sebagai alternatif dari bentuk negara yang baru itu sendiri. Titik temu paling siginifikan antara modernitas yang ditampilkan melalui negara dan Islam adalah apakah masing-masing bisa mengakomodasi pada tingkat substansi. Substansi itu dalam konteks cara pandang fiqh pesantren adalah jaminan keabsahan keberagamaan yang esensial dalam Islam yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan dan tuntutan orang per orang umat?menurut fiqh?yang terrepresentasi dalam keabsahan pernikahan, dan sisi lainnya adalah kebebasan beribadah menurut keyakinan dan kepercayaannya. Sedangkan kemerdekaan politik merupakan prasyarat utama bagi berlangsungnya dua hal di atas.
Dalam konteks inilah sebenarnya pesantren memiliki peran yang penting sebagai benteng perjuangan kemerdekaan politik tersebut. Pesantren adalah salah satu segmen dalam masyarakat Indonesia yang memiliki akar sangat kuat dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, bahkan bisa disebut subkultur, sebuah kelompok masyarakat yang memiliki sistem nilai dan pandangan hidupnya sendiri sebagai bagian dari masyarakat luas. Tetapi karena tempatnya yang pada umumnya di pedesaan dan menerapkan pendidikan dan tradisi keagamaan (Islam) tradisional, maka dinamika yang ada di dalamnya kurang mendapatkan ekspose yang secukupnya. Bahkan pergulatan politik dan kemasyarakatannya pun kurang diperhitungkan karena dianggap kurang memberikan kontribusi dalam perjalanan bangsa.
Banyak orang tiba-tiba tersentak ketika kelompok tradisionalis yang cukup banyak pengikutnya ini menggeliat merespon kemodernan dengan kekuatan tradisinya sendiri tanpa kehilangan akomodasinya terhadap gejala kemodernan. Salah satu momentum itu adalah ketika NU kembali ke khittah 26 dan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi dengan menggeser Islam Ahlusunnah Waljamaah yang semula asas menjadi aqidah. Ketika itu kelompok-kelompok Islam lain maupun agama lainnya masih ragu-ragu dan berupaya dengan keras menyusun argumen dan mencari legitimasi keagamaan untuk itu. Kiat yang dilakukan NU (pesantren) ini dianggap sebagai terobosan yang di satu pihak memberikan jalan keluar dari jalan buntu pertemuan Islam dan modernitas dan di lain pihak tanpa kehilangan kekuatan tradisinya sendiri.
Pengamatan sepintas, akan menggiring orang pada anggapan bahwa seolah-olah NU hanya mengikuti apa saja kemauan penguasa ketika itu yang represif dan tidak memberikan pilihan kepada kelompok-kelompok sosial untuk memilih jalannya sendiri. Di luar sikap bahwa baik untuk tetap bernaung di bawah partai Islam maupun mengambil langkah mundur adalah sama-sama harus mengikuti kemauan penguasa, maka itu semua sesungguhnya sebagai sikap kreatif untuk menghindari tekanan penguasa secara langsung di satu pihak dan menuntut kemandirian di lain pihak. Sikap demikian kalau ditelusuri lebih jauh ternyata memiliki dasar-dasar paham keagamaan dan tradisinya sendiri di dalam NU. Kembali kepada khittah 26, sesunggunya merupakan transformasi lanjutan dari apa yang telah diperjuangkan NU sejak berdirinya. Selalu ada dua faktor, pengaruh ekternal dan internal dalam perubahan di dalam NU--atau di dalam organisasi apapun. Tetapi, tampaknya, untuk menanggapi itu semua pesantren/NU  lebih mengandalkan pada kemampuan dan tradisinya sendiri ketimbang pencomotan tradisi lain dengan penuh kekaguman.
Ada dua situasi eksternal yang mendorong terbangunnya para ulama tradisional itu, yaitu kolonialisme dan serangan yang tajam dan terus menerus oleh kalangan apa yang disebut Islam modernis. Kolonial Belanda melakukan represi kepada masyarakat di bidang politik dan ekonomi sementara kalangan Islam modernis melakukan represi di bidang paham dan praktek keagamaan. Semua ini memberikan implikasi yang tidak sedikit bagi masyarakat luas, yaitu kemiskinan dalam ekonomi, kebodohan dalam pendidikan dan politik, serta kegelisahan dan tekanan dalam beragama.
Ketegangan pun terus terjadi, baik di dalam masyarakat maupun dalam pertemuan-pertemuan kongres Al-Islam?sebuah kongres yang diikuti oleh sebagian besar kelompok-kelompok Islam di nusantara?antara kelompok Islam modernis dan Islam tradisionalis. Salah satu topik diskusi di kalangan Islam yang sedang hangat ketika itu adalah tentang kekhilafahan Islam internasional sehubungan dengan penghapusan kekhalifahan Daulah Utsmaniyah oleh penguasa Kemalis Republik Turki. Di dalam negeri terjadi perdebatan tentang representasi Islam untuk mengikuti arus internasional tersebut, di samping kecaman dan bahkan pengrusakan oleh Islam modernis terhadap tradisi-tradisi ritual lokal yang juga dipraktekkan dan diajarkan oleh kalangan pesantren.
Dengan demikian, kehadiran Islam yang kini menjadi agama mayoritas di Indonesia sulit disangkal merupakan hasil dari proses panjang penetrasi budaya yang tentu saja mengandaikan adanya sebuah dialog intensif di dalamnya antara doktrin-doktrin agama itu sendiri dengan beragam tradisi dan tata nilai lokal yang lebih dulu hidup dan dianut banyak orang. Kendati agama nabi Muhammad tersebut awalnya datang dari daratan Timur Tengah, yang penampakan historisnya pada tingkat tertentu tidak mungkin steril dari pengaruh gaya dan corak kehidupan bangsa Arab, ia hampir dapat dipastikan mengalami ekskelektisasi kultural yang khas Indonesia tatkala mewujudkan diri sebagai agama masyarakat Indonesia.
Lantas kenapa akhir-akhir ini muncul radikalisasi Islam di Indonesia? maraknya kekerasan yang dilakukan segelintir kalangan Islam garis keras telah mewarnai halaman  sejarah bangsa Indonesia. Fenomena laskar jihad dan dalam konteks terorisme adalah Jami?iyah Islamiyah telah menggiring wajah Islam di Indonesia menjadi garang dan  radikal. Sehingga banyak kalangan menyebutnya sebagai kebangkitan fundamentalisme Islam di Indonesia. Dilatarbelakangi kondisi ini pula, banyak kalangan muslim yang juga membendung fenomena tersebut. Jaringan Islam Liberal adalah salah satu kelompok yang secara terbuka menghadang gerakan radikal tersebut.
Seluruh umat Islam sepakat untuk memegang teguh al Qur?an dan Hadis sebagai pedoman dalam menjalan ajaran Islam, namun bukan tanpa masalah ketika terbentur oleh batas-batas etnisitas dan rentang waktu. Di Arab sendiri dan bangsa-bangsa sekitarnya pemahaman atas al Qur?an dan Hadis cukup bervariasi. Tak pelak juga terjadi di Asia Tenggara termasuk di Indonesia. Persebaran Islam telah melewati tradisi-tradisi kultural dan rentang sejarah yang panjang sehingga otentisitasnya sudah tidak terdeteksi lagi. Dengan demikian, variasi keberagamaan tersebut terletak pada bagaimana mereka memahami dan menafsirkan teks baik yang tertulis maupun yang ditangkap dalam historisitas peradaban Islam. Dari sinilah, dibutuhkan keberagamaan yang inklusif, pluralis dan ramah.
Dalam ilmu sosial, para penguasa menyadari bahwa jika tidak disertai dengan proses integrasi yang massif dan solid, proses diferensiasi (keberbedaan) selalu meninggalkan dampak-dampak negatif. Fakta sosial ini ternyata juga sangat disadari berkembang dalam penyebaran Islam dan persebaran tradisi kultural Arab sebagai tempat lahirnya Islam. Karenanya, pandangan universalisme Islam cenderung untuk diusung dalam kerangka formalnya sesuai tradisi kultural Arab. Padahal universalisme Islam, jika kita bermaksud untuk diterima tradisi kultural lainnya, harus bertolak dari nilai-nilai (values) yang menyimpan pesan dan makna universalnya.
Oleh karena itu, yang harus pertama kita sepakati adalah bahwa pesan yang dibawa oleh Islam bersifat universal. Tetapi di saat yang sama, Islam juga merupakan respon atas keadaaan yang bersifat khusus di tanah Arab. Oleh karenanya, kita harus menyadari bahwa Pertama, Islam lahir sebagai produk lokal yang kemudian diuniversalisasikan dan ditransendensi sehingga kemudian menjadi Islam universal. Maksud Islam sebagai produk lokal adalah Islam lahir di Arab, tepatnya daerah Hijaz, dalam situasi Arab dan pada waktu itu ditujukan sebagai jawaban terhadap persoalan-persoalan yang berkembang di sana. Hal ini kemudian dikonstruksi sebagai potret dari kecenderungan global.
Kedua, betapapun Islam itu diyakini wahyu Tuhan yang universal, yang gaib, akhirnya dipersepsi oleh si pemeluk sesuai dengan pengalaman, problem, kapasitas intelektual, sistem budaya, dan segala keragaman masing-masing pemeluk di dalam komunitasnya. Dengan demikian, memang justru kedua dimensi ini perlu disadari yang tidak mungkin di satu sisi Islam sebagai universal, sebagai kritik terhadap budaya lokal, dan kemudian budaya lokal sebagai bentuk kearifan masing-masing pemeluk di dalam memahami dan menerapkan Islam itu.
Klaim universalitas Islam itulah yang justru membuat Islam bisa dipahami di dalam beragam sistem budaya, tempat Islam akan ?disemaikan.? Sehingga klaim standarisasi keislaman seperti yang tercermin di Arab tidak ada, akan tetapi Islam di Indonesia setara dengan Islam di India, Islam di Persia maupun Islam di Arab. Bahwa Islam Indonesia misalnya dengan beberapa karakteristiknya tentu sangat berbeda dengan Islam-Islam di tempat lain meskipun subtansialisnya sama. Karena tradisi merupakan domain Islam historis, maka sejarah telah mengkomunikasikan teks Kitab Suci dengan budaya tertentu dengan proses-p9roses pemahaman, penafsiran dan 4akhirnya penerapan ajaran teks itu sehingga telah membentuk suatu tradisi yang bervarian.
Dalam konteks sosial tertentu, pandangan keislaman bisa dipertahankan atau bertahan dengan baik. Hukum syari?at, misalnya, dalam bentuknya yang ada, sebagai sebuah himpunan (corpus) komprehensif dari peraturan-peraturan hidup, kini tampak terikat pada asumsi-asumsi sosial tertentu yang sudah ketinggalan zaman. Banyak muslim ingin ?memodernkan? nya. Tetapi masih perlu ditunjukkan seberapa jauh kumungkinan kaum muslimin modern untuk memodifikasi syariat dalam prasangka-prasangkanya yang lebih fundamental tanpa, pada kenyataannya, meninggalkan kesetiaan yang serius pada riwayat-riwayat hadis tradisional yang menjadi dasar prasangka-prasangka tersebut. Namun riwayat-riwayat hadis telah berfungsi untuk menafsirkan al-Qur?an semenjak al Qur?an berhenti diturunkan pada saat Nabi Muhammad meninggal dunia, sebagai tafsirnya sendiri yang berkelanjutan: maka dipertanyakan sejauh mana riwayat-riwayat hadis dapat, pada babak ini dalam sejarah, dipisahkan dari al-Qur?an sebagai ?dispensible?, tanpa secara menentukan meninggalkan harapan untuk mendasarkan kehidupan pada al Qur?an dan dalam Islam yang didukungnya.
Dengan cara yang tidak begitu seksama dirumuskan, hal yang serupa juga terjadi pada budaya secara umum, dari kompleks pandangan hidup menyeluruh yang dikaitkan dengan agama. Dalam setiap budaya dapat dilihat adanya cara yang berbeda dari hidup bersama yang cocok, yang telah memberinya nada atau gaya yang berbeda. Cara-cara baru yang diperkenalkan bisa saja diasimilasikan dengan gaya budaya tersebut. Konsepsi Islam yang integral sebagai sebuah budaya yang menyeluruh menggarisbawahi gayanya yang khas, integritas budayanya sebagai suatu keseluruhan yang betul-betul koheren, dengan cara menelusuri semua ranting-rantingnya pada apa yang tampak sebagai fondasi-fondasi yang tidak bisa ditinggalkan. Kadang-kadang, apa yang kemudian dijalani sebagai Islam, dalam hal-hal tertentu, malah melanggar integritas kehidupan Islami: yakni, ia ternyata tidak konsisten dengan prasangka-prasangka budaya yang lebih fundamental dari Islam, ketika Islam telah dikembangkan; dan karena itu, mau tidak mau ia menimbulkan konflik yang akan membutuhkan semacam resolusi psikologis dan historis tertentu.
Meskipun begitu, apa yang telah dirasa sebagai Islam, dipandang dari sudut historis, dalam segala ramifikasinya dan bahkan dalam implikasi-implikasinya yang paling penting, tentu saja telah sangat bervariasi. Kelengkapan visi Islam ketika ia berkembang telah menjamin bahwa ia tidak akan pernah betul-betul sama dari satu tempat ke tempat yang lainnya atau dari satu waktu ke waktu yang lainnya. Karena secara historis Islam dan pandangan?pandangan yang terkait dengannya membentuk sebuah tradisi kultural, atau sebuah kompleks tradisi-tradisi dan sebuah tradisi kultural dengan sendirinya tumbuh dan berubah; semakin luas lingkupnya.
Di Indonesia, sebagai mayoritas Islam diharapkan mampu menjadi semacam "penengah" di antara umat agama-agama lain dan dituntut mampu mengembangkan sikap keberagamaan yang tidak hanya peduli dengan kelompoknya sendiri, tetapi juga peduli dengan kelompok agama lain yang hidup sebagai tetangga dan saudara sebangsa. Upaya untuk menumbuhkan sikap keberagamaan yang kritis, dialogis, dan transformatif yang mendukung nilai-nilai demokrasi dan penguatan civil society tampaknya harus terus mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan.
Radikalisme agama sebagai fenomena yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini, terutama dengan maraknya sejumlah "laskar" atau organisasi berlabel agama yang diduga menciptakan kekacauan dan teror, eksistensinya sulit dipisahkan dari faktor krisis kebangsaan dan minimnya basis kultural demokrasi.
Krisis kebangsaan ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa kesadaran nasional mengenai "Indonesia" lebih dominan dibangun oleh perekat politik ketimbang perekat budaya. Negara (state) dalam hal ini demikian memonopoli penciptaan idiom-idiom "identias nasional" tanpa memberi ruang bagi budaya dan entitas lokal untuk memaknai kebangsaannya. Penolakan total terhadap tradisi lokal, sekaligus pada perkembangan modernitas dengan tanpa mengadaptasikan ajaran agama dengan kebutuhan sejarah dan konteks sosial, pada akhirnya melahirkan sikap eksklusif dan pandangan ekstrem dalam beragama.
Kendati ada upaya mencari jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik, dan simbolistik masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru. Sehingga dalam kaitannya dengan negara, kita dapat melihat kecenderungan kalangan Islam terporalisasi ke dalam tiga bentuk. Pertama, kelompok formaslitik yang memperjuangkan penerapan syari?at Islam. Kedua, kelompok moderat yang lebih mengedepankan nilai-nilai substantif Islam untuk menjalankan roda pemerintahan. Dan ketiga, kelompok sekulerstik  yang meletakkan agama sebagai urusan privat, dan urusan publik atau masyarakat dan negara bukan urusan agama.
Namun demikian, tanpa mengabaikan arus transformasi intelektualisme baru Islam dewasa ini, proses "reproduksi" Islam radikal pun terlihat tidak pernah surut. Hal ini terutama tampak pada tema-tema ideologis yang diusung kalangan Islam radikal yang "lebih vulgar", yang memfokuskan gerakannya pada empat agenda utama: mendirikan negara Islam dan menegakkan syariah, seraya menolak demokrasi dan kepemimpinan perempuan.
Reaksi tersebut muncul akibat ketidakmampuan kultur masyarakat merespons nilai-nilai dan norma-norma baru yang diusung gelombang modernitas ini.
Ketidakmampuan negara-bangsa menyemai kondisi-kondisi politik yang demokratis dan menyelesaikan krisis ekonomi serta ketidakadilan sosial telah membangkitkan frustrasi masyarakat. Situasi demikian tak pelak ikut melahirkan gerakan fundamentalisme agama yang lebih bersifat ideologis dan politis untuk mendelegitimasi negara-bangsa dan menggantikan tatanan maupun nilai-nilai demokrasi "sekuler", yang dianggap sebagai biang berbagai krisis tersebut, dengan tatanan Islam.
Jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan korup, membawa pengaruh munculnya harapan adanya pemerintahan pasca-Orba yang demokratis. Di antara harapan yang telah terwujud pada era reformasi ini adalah berdirinya partai-partai politik, yang setelah dilakukan seleksi kini berjumlah 48 buah; dan diperbolehkannya penggunaan Islam sebagai nama dan asas partai. Sebagian dari 48 partai ini merupakan partai-partai Islam, baik yang secara tegas menggunakan asas Islam atau tidak. Keadaan ini menjadikan banyak ulama masuk dalam partai-partai ini, meskipun masih banyak juga di antara mereka yang tidak mau masuk partai tertentu dan lebih mengkonsentrasikan pada pembinaan umat secara umum.
Keterlibatan banyak ulama dalam partai-partai itu dengan sendirinya menjadikan mereka ikut berkiprah dalam memenangkan partai tertentu. Memang hal ini bisa membawa dampak positif, karena mereka akan dapat ikut serta memberikan pendapat dalam proses pengambilan kebijakan umum. Namun, hal ini juga bisa membawa dampak negatif, jika mereka kemudian berupaya mempengaruhi umatnya untuk memilih partainya dengan cara yang tidak bijaksana. Dalam sistem dan budaya demokrasi di Indonesia yang belum mapan ini, kini memang masih tampak gejala-gejala perilaku politik yang belum dewasa, baik dilakukan oleh para tokoh politik maupun oleh publik. Perilaku politik yang tak terpuji ini ada kalanya dilakukan dengan cara halus, misalnya dalam bentuk money politics; dan ada kalanya dengan cara kasar, misalnya memaksa seseorang untuk mengikuti partai tertentu, menjelek-jelekkan partai lain, melakukan penyerangan fisik terhadap anggota partai lain, dan sebagainya.
Kini sudah mulai ada gejala saling ejek dengan yustifikasi dalil-dalil agama yang tidak proporsional, misalnya mengatakan bahwa partai tertentu adalah partai sekular dan kafir, bahwa pendukung partai tertentu akan berdosa, dan sebagainya. Memang benar bahwa Islam adalah agama yang tidak memisahkan antara agama dan negara, dan bahwa setiap Muslim berkewajiban untuk memperjuangkan aspirasinya dan sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan ajaran Islam. Namun, seseorang tidak bisa mengklaim bahwa hanya partainya dan tindakannya yang benar, apalagi dengan penggunaan yustifikasi keagamaan yang tidak proporsional. Kalaupun diperlukan yustifikasi dari dalil-dalil keagamaan, hal ini seharusnya hanya dilakukan terhadap persoalan yang memang benar-benar menunjukkan kemaslahatan dan keadilan bagi semua warga negara. Bukan terhadap persoalan yang masih diperdebatkan dengan dalil-dalil yang interpretable, hanya untuk men-yustifikasi kepentingannya sendiri.
Adalah suatu keharusan, bahwa semua elite politik maupun masyarakat umum memegang teguh etika politik. Hanya, para ulama terutama yang terlibat dalam politik praktis, memiliki tanggung jawab ganda untuk membudayakan etika politik ini, karena kedudukan mereka yang sangat terkait dengan pembinaan akhlak atau moralitas umat/ bangsa. Oleh karena itu, mereka seharusnya melakukan tugas: (a) tetap mendorong terciptanya persatuan dan persaudaraan di antara warga negara, (b) menghindari upaya "mempolitisasi" agama untuk men-yustifikasi sikap mereka, (c) tidak mengeluarkan pernyataan yang yang dapat menimbulkan emosi dan agresivitas massa, terutama yang berkaitan dengan sentimen suku agama ras dan antargolongan (SARA), dan (d) mencegah massa, yang secara umum memang belum dewasa dalam berdemokrasi itu, melakukan tindakan-tindakan yang anarkis. Tugas-tugas ini akan sangat mendukung suksesnya negara yang demokratis, jujur dan adil.
Sementara itu, para ulama yang tidak terlibat dalam politik praktis tetap memiliki peran politis dalam bentuk pendidikan politik rakyat, sebagai perwujudan dari peran pencerahan mereka terhadap umat. Mereka juga bisa melakukan tindakan politik meski dengan jalan non-politik (political action in the non-political way), yang dilakukan dalam kerangka melaksanakan amr ma'ruf nahy munkar (mendorong kebaikan dan mencegah kemunkaran). Dengan komitmen pada penegakan etika-moral, mereka bisa menjadi pihak independen dalam melakukan kontrol terhadap pemerintah serta proses dan aktivitas politik yang berlangsung, terutama dalam penyelenggaraan pemilu mendatang. Dalam konteks ini, mereka juga sekaligus ikut berperan dalam memperkuat masyarakat madani yang memang menjadi salah satu prasyarat bagi terwujudnya sistem demokrasi.
Transisi politik ternyata telah mengubah watak dan paradigma perjuangan Islam (ulama). Ulama yang pada awalnya bergerak di jalur kultural, yang dalam bahasa Clifford Greetz disebut cultural broker (makelar budaya), di tengah arus transisi politik sekarang ini, sudah berubah. Garis perjuangan ulama pelan-pelan mulai bergeser sering dengan perubahan politik di Tanah Air. Maka ulama pun mulai merambah wilayah struktural (politik praktis) dengan segala jargon politiknya yang amat mengesankan.
Dalam konteks inilah, diperlukan reposisi ulama agar kembali ke habitatnya yang sejati, yakni menjadi cultural broker atau makelar budaya. Bahkan, peran Ulama tidak sekadar makelar budaya, tetapi sebagai kekuatan perantara (intermefary forces), sekaligus sebagai agen yang mampu menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat. Fungsi mediator ini juga dapat diperankan untuk membentengi titik-titik rawan dalam jalinan yang menghubungkan sistem lokal dengan keseluruhan sistem yang lebih luas, dan sering bertindak sebagai penyangga atau penengah antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan, menjaga terpeliharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang diperlukan.
Berdasarkan fungsi ini, ulama sebagai pemimpin umat memiliki basis yang kuat untuk memerankan sebagai mediasi bagi penguatan civil society melalui aktivitas pemberdayaan (umat), seperti advokasi terhadap pelanggaran hak-hak rakyat oleh negara. Ini adalah bentuk dari peran ulama sebagai agen penguatan civil society. Karena ciri pokok civil society adalah adanya kemandirian masyarakat terhadap negara dan tersedianya ruang publik yang bebas (a free public sphere). Civil society memang diarahkan sebagai resistensi dari model otonomi negara (state aotonomy) yang amat kuat berhadapan dengan masyarakat.
Karena itulah, reposisi ulama mengurusi wilayah kultural (civil society) menjadi agenda mendesak, agar ulama tidak mengalami kegagapan dan kegamangan dalam menghadapi transisi politik yang hiruk-pikuk berlangsung. Konsistensi terhadap sikap ini tentu memberi nilai positif bagi penciptaan generasi yang kuat dan tidak tergoda permainan politik yang sifatnya sesaat. Tanpa kesadaran ini, umat akan kehilangan orientasi jangka panjangnya dan modalitas bangsa akan hilang sia-sia dalam sekejap.
Seperti di kemukakan di atas, Islam adalah agama yang berkarakteristikkan universal, dengan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam. Dengan tema-tema semaam itu, wajah Islam akan lebih ramah dan lebih toleran terhadap berbagai hal tanpa harus menghilangkan substansi dari ajarannya.
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Oleh karenanya, segenap kaum muslimin harus mengembangkan kultur yang lebih progresif dan visioner baik dalam berpolitik maupun bermasyarakat.
Yang patut diamati pula, kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia. Kosakata bahasa Jawa maupun Melayu banyak mengadopsi konsep-konsep Islam. Taruhlah, dengan mengabaikan istilah-istilah kata benda yang banyak sekali dipinjam dari bahasa Arab, bahasa Jawa dan Melayu juga menyerap kata-kata atau istilah-istilah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan. Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali misalnya, adalah istilah-istilah pinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam khazanah budaya populer. Akankah kaum muslim di Indonesia menafikan kenyataan historis dan kultural tersebut?
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa agama Islam adalah agama langit yang kemudian "membumi". Ketika masih di "langit" Islam adalah agama yang sempurna dan mutlak benar, tetapi ketika "membumi" maka ia mengalami proses pembudayaan atau pergumulan budaya dimana ada peran manusia yang tidak sempurna sehingga sebagai agama bumi Islam tidak lagi sebagai agama yang mutlak benar, tetapi memiliki variasi tingkat kedekatan dengan kebenaran. Dengan demikian maka ada kebudayaan Islam yang sangat dekat dengan syari`at (budaya syar`iy) disamping ada kebudayaan yang hanya merupakan sempalan saja dari Islam, karena ia lebih dekat ke kebudayaan lokal setempat. Di sisi lain ada kebudayaan ummat Islam yang malah tidak ada relevansinya dengan Islam.

Nilai Budaya
Banyak definisi tentang kebudayaan, tetapi saya memilih pandangan yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah konsep, keyakinan, nilai dan norma yang dianut masyarakat yang mempengaruhi perilaku mereka dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya. Disamping sebagai fasilitas, alam adalah tantangan yang harus diatasi. Berbeda dengan hewan, manusia tidak puas hanya
dengan apa yang terdapat dalam alam kebendaan. Dengan konsep yang dimiliki manusia berusaha mengolah alam ini , dan dengan kesadaran dan cita-citanya manusia merumuskan apa yang bermakna dan apa yang tidak bermakna dalam kehidupannya. Sekurang-kurangnya ada enam nilai yang amat menentukan wawasan etika dan kepribadian manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat, yaitu : ekonomi, solidaritas, agama, seni, kuasa dan teori.

1. Nilai teori. Ketika manusia menentukan dengan obyektip identitas
benda-benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga
menjadi pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang menjadi
konsep dalam proses penilaian atas alam sekitar.

2. Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda
atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau
kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan
hidup. Kombinasi antara nilai teori dan nilai ekonomi yang senantiasa
maju disebut aspek progressip dari kebudayaan.

3. Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan
dan kebesaran yang menggetarkan dimana di dalamnya ada konsep
kekudusan dan ketakziman kepada yang Maha Gaib, maka manusia mengenal
nilai agama.

4. Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan dimana ada konsep
estetika dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia
mengenal nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-
sama menekankan intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek
ekpressip dari kebudayaan.

5. Nilai kuasa. Ketika manusia merasa puas jika orang lain mengikuti
fikiranya, norma-normanya dan kemauan-kemauannya, maka ketika itu
manusia mengenal nilai kuasa.

6. Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi
cinta, persahabatan dan simpati sesama manusia, menghargai orang
lain, dan merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia
mengenal nilai solidaritas.

Enam nilai budaya itu merupakan kristalisasi dari berbagai macam nilai kehidupan, yang selanjutnya menentukan konfigurasi kepribadian dan norma etik individu maupun masyarakat. Nilai apa yang paling dominan pada seseorang atau sekelompok orang, akan menentukan "sosok" mereka sebagai manusia budaya (al insan madaniyyun bi at thab`i). Orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai ekonomi cenderung kurang memperhatikan halal dan haram, orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai teori cenderung menjadi ilmuwan, yang lebih dipengaruhi oleh nilai kuasa cenderung tega dan nekad, yang lebih dipengaruhi oleh  nilai agama dan seni cenderung menjadi sufi dan seterusnya, sehingga ada sosok orang yang materialis, seniman, pekerja sosial an sebagainya. Bisa juga ada ilmuwan yang mengabdi kepada materi, politisi yang pejuang, ulama yang rasionil, ilmuwan yang mistis dan sebagainya.

Budaya progressip akan mengembangkan cara berfikir ilmiah dan melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, sedangkan puncak dari budaya ekpressip  bermuara pada kepercayaan mitologis dan mistik. Pendukung budaya progressip pada umumnya dinamis dan siap digantikan oleh generasi penerus dengan penemuan-penemuan baru, sedangkan pendukung budaya ekpressip biasanya statis atau tradisional, memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang sudah final.
Category: 0 komentar

0 komentar:

Posting Komentar